Mencegah Anak Berkebutuhan Khusus menjadi sasaran Bullying di Sekolah

by Riswanto
Bullying
merupakan salah satu bentuk dari agresifitas, dimana pada penjabarannya berarti tindakan agresif yang dilakukan secara sistematis dan terencana serta berulangkali oleh seseorang yang memiliki kedudukan yang lebih baik (secara fisik maupun mental) terhadap orang lain , dimana tindakan ini dilakukan secara individual maupun berkelompok.
Bullying dapat berupa tindakan kekerasan fisik , agresifitas verbal, pengucilan, pemaksaan dan lain-lain. Tindakan-tindakan ini terjadi di seluruh institusi pendidikan di dunia. Dalam artian, hal ini terus terjadi dan tidak bisa dihilangkan 100%. Bullying tidak hanya dilakukan oleh sesama murid, tetapi tidak jarang dilakukan oleh pendidik (guru). Tindakan bullying dalam intensitas
yang tinggi dapat mengarah pada tindakan kriminal seperti pelecehan seksual.
Anak berkebutuhan khusus dengan kemampuan adaptif yang tinggi (high functioning) memiliki kemampuan secara akademik maupun sosial (dalam taraf cukup) untuk mengikuti jenjang pendidikan di sekolah umum atau inklusi. Namun demikian adanya perbedaan dalam tingkah laku maupun kondisi fisik, menjadikan anak-anak ini sasaran empuk perilaku bullying.
Seperti sudah disebutkan di atas, perilaku bullying tidak bisa dihilangkan 100% namun perilaku ini dapat diminimalisir. Antara lain dengan cara :
1.       Meminta anak bercerita mengenai keseharian di sekolah
Orangtua harus menyediakan waktu untuk berkomunikasi dengan anak mengenai kegiatan atau apa yang dialami oleh anak di sekolah. Tanyakan mengenai kegiatan apa yang dilakukan, ada kejadian apa hari ini, dan lain-lain.
2.       Memeriksa kondisi fisik anak
Secara teliti, orangtua memeriksa kondisi fisik anak. Apakah ada bekas luka, goresan, dan lain-lain pada tubuh anak.
3.       Menggali informasi dari teman sekelas anak
Sesekali tanyakan mengenai kondisi anak kepada teman sekelasnya. Hal ini bisa dilakukan bila anak belum memiliki kemampuan yang memadai untuk bercerita.
Misalnya dalam bentuk pertanyaan
"Audrey, kalau di kelas Evelyn suka main sama siapa saja?"
"Suka ada yang gangguin tidak ?"
4.       Menjaga kontak secara rutin dengan pihak sekolah (guru)
Bila anak pulang dengan kondisi emosi yang berbeda dari biasanya, segera tanyakan ke guru, ada kejadian apa di sekolah.
5.       Mencari informasi dari pihak lain, seperti sesama orangtua, babysitter, pengasuh,dan lain-lain
Orang-orang ini dapat menjadi sumber informasi untuk mengetahui atmosfir belajar di sekolah serta pergaulan anak di sekolah. Mereka umumnya tahu figur-figur yang ada di sekolah.
6.       Membekali anak dengan pemahaman norma sosial
Anak yang memahami norma sosial akan menolak atau setidaknya berusaha menolak bila teman meminta mereka melakukan hal yang buruk. Pengajaran dapat berupa : mengajarkan anak mengenai bagian tubuh yang tidak boleh disentuh orang lain (dada-pada anak perempuan, alat kelamin,bokong), mengajarkan  anak untuk berpakaian sopan (anak perempuan tidak boleh mengangkat rok), mengajarkan mengenai toilet training (buang air di WC, mencuci tangan, membersihkan diri setelah buang air)-saat anak bisa melakukan kegiatan buang air sendiri, akan meminimalisasi terjadinya pelecehan seksual-.
7.       Menjelaskan keadaan anak kepada teman maupun orangtua murid yang lain
Melakukan psikoedukasi atau penjelasan sangat efektif, karena seringkali anak-anak melakukan perbuatan iseng karena mereka tidak tahu kondisi individu yang mereka jadikan sasaran. Penjelasan mengenai kondisi anak dapat dilakukan saat event-event tertentu, atau orangtua dapat meminta guru untuk melakukannya. Keterbukaan orangtua mengenai keterbatasan anak patut ditekankan, agar guru maupun murid-murid lain paham mengenai kondisi si anak.

--
<Ambrosius Torro>
http://www.ku-creatives.co.cc
http://www.globaltalitakum.com
http://zachky.blogspot.com
http://www.kuplix.co.cc
http://freakbiker.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar